Tafsir atas Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945

Table of Contents
Menyambut Peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945

Menyambut Peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945

“Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
– Pembukaan UUD 1945, Alinea Kedua

Delapan puluh tahun sejak proklamasi kemerdekaan, satu pertanyaan mendasar yang selalu menggema: Apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka?

Jika menelaah dengan jernih teks sakral Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua, justru menyiratkan sesuatu yang mengejutkan. Bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa indonesia "baru sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan". Bukan memasukinya.

Secara tata bahasa, ini bukanlah kemenangan melainkan pengantar atau peringatan, belum masuk ke dalam atau hanya sampai di ambang. Bahkan, pintu gerbang itu masih dalam jarak yang jauh.

Frasa tersebut, jika ditafsirkan secara filosofis, mengisyaratkan bahwa kemerdekaan bukanlah kondisi otomatis yang hadir setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Pernyataan merdeka ini, tak lain adalah spirit atau cita-cita kemanusiaan yang terus diperjuangkan.

Jadi konteks “kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” bukanlah fakta sejarah, melainkan janji kemanusiaan yang belum pernah ditunaikan.

Lebih dari itu, “pintu gerbang” adalah simbol ambigu; bisa terbuka, bisa tertutup; bisa sebagai jalan masuk, bisa juga palang pintu yang jadi penghalang.

Fakta lain: bagaimana hubungannya Pembukaan UUD 1945 dengan UUD 2002, apakah baik-baik saja?.

Dalam perspektif spiritual, situasi ini mengingatkan pada kisah dalam kitab suci. Ketika Musa a.s. dan Bani Israel tiba di tepi Tanah Perjanjian (Kanaan), mereka tidak serta-merta bisa memasukinya. Mereka diuji lebih dulu. Jiwa mereka dibersihkan lewat proses panjang lintas generasi, hingga akhirnya layak menerima janji Tuhan.

Demikian halnya realitas Indonesia. Meski telah berhasil mengusir penjajahan bangsa asing, tetapi belum sepenuhnya mengusir penjajah dari dalam diri sendiri.

Namun tentu, secara administratif, Indonesia telah merdeka, dan itu patut disyukuri.

Tapi jika mau jujur pada teks konstitusi, harus diakui bahwa “pintu gerbang” itu belum sepenuhnya terbuka. Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 2002. Ini patut di-diskusikan, apakah sebagai alat destruktif atau wahana konstruktif kebangsaan Indonesia.

© 2025 | Refleksi Kemerdekaan ke-80 Indonesia

Posting Komentar