Kedaulatan Rakyat 10 Menit dan Penjarahan Lima Tahun
opini 20 Juli 2024
Setiap lima tahun, rakyat di negeri ini diundang ke panggung utama demokrasi. Spanduk dikibarkan, baliho ditegakkan, jingle diputar di setiap gang sempit hingga jalan tol. Semua demi satu momen sakral: mencoblos.
Di bilik suara itulah, konon, rakyat menjadi “berdaulat”. Suara seorang buruh bangunan nilainya sama dengan suara seorang menteri. Satu orang, satu suara. Meriah. Sakral. Emosional.
Tapi hanya selama 10 menit.
Begitu kertas suara dilipat dan tinta mengering di jari, rakyat dipersilakan kembali ke tempat asalnya; ke kampung yang sebentar lagi akan digusur demi bendungan atau jalan tol. Ke sawah yang akan dilibas proyek strategis nasional. Ke dusun yang perlahan akan mati setelah tanahnya diberi izin konsesi tambang. Dan ke barak-barak sempit di kota, tempat para pekerja migran dihimpit utang dan upah murah.
Setelah 10 menit berdaulat, kekuasaan tak lagi berada di tangan rakyat. Ia berpindah ke segelintir elite politik dan ekonomi yang sejak awal memang tak berniat berbagi kuasa. Oligarki beroperasi dengan tenang di balik rapat-rapat tertutup penguasa, lobi korporasi, dan tangan-tangan tak terlihat yang mengatur alur dana dan keputusan negara.
Rakyat yang menolak? Dipukul mundur.
Rakyat yang bertanya? Dituduh menyebar hoaks.
Rakyat yang melawan? Diadili atas nama ketertiban umum.
Demokrasi diubah menjadi prosedur legalistik yang membungkam substansi.
Lebih ironis lagi, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) satu-satunya lembaga yang tak tunduk pada siklus elektoral mencoba menegakkan akal sehat konstitusi, DPR justru uring-uringan. Mereka merasa dikudeta oleh “lembaga yang tak dipilih rakyat”, padahal mereka sendiri justru kerap mengabaikan suara rakyat dalam pembuatan undang-undang.
Di sinilah akal sehat mulai bertanya; demokrasi seperti apakah ini?
Demokrasi seharusnya menjamin bahwa suara rakyat tak hanya terdengar saat pemilu, tetapi juga saat keputusan-keputusan penting negara dibuat. Bahwa rakyat bukan hanya sekedar penonton apalagi korban dalam proses pembangunan. Namun kenyataannya, demokrasi hari ini lebih mirip teater prosedural yang melegitimasi kekuasaan, lalu menyerahkannya kepada segelintir elite untuk diperdagangkan di belakang layar.
Jika demokrasi itu ada hanya selama 10 menit setiap lima tahun, maka sisanya adalah waktu bagi oligarki untuk bekerja; tanpa koreksi, tanpa akuntabilitas, tanpa rakyat.
Dan jika masyarakat terus diam dan dilemahkan, jangan heran jika tanah air dan udara yang tersisa pun akan turut dicoblos bukan untuk dipilih, tetapi untuk mereka kuasai.
Posting Komentar