UKT Melejit, Orang Tua Menjerit: Kapitalisme Pendidikan Tinggi Negeri
#Komersialisasi pendidikan tinggi negeri
Tahun ini, kami menyaksikan langsung beberapa orang tua di sekitar kami menangis, bukan karena anaknya gagal masuk perguruan tinggi, tapi justru karena anaknya lolos, lalu tak sanggup membayar UKT.
Ya, inilah ironi tahun ajaran baru 2025. Di saat banyak keluarga Indonesia mengharapkan kampus negeri sebagai jalan keluar dari biaya kuliah swasta yang selangit, justru kampus negeri sekarang mulai memasang tarif yang tak kalah "premium." Di Fakultas Kedokteran beberapa kampus, misalnya, UKT bisa tembus Rp50 juta per semester.
Pertanyaannya sederhana; ini kampus negeri? atau perusahaan jasa pendidikan?
Dulu, kampus negeri identik dengan kata “terjangkau", Sekarang label “negeri” hanya tinggal status administratif. Biaya kuliah ditentukan oleh “kelas ekonomi” yang dinilai dari aset orang tua. Punya rumah? Motor dua? Tabungan di atas Rp.5 juta? Siap-siap masuk golongan UKT tinggi.
Masalahnya, indikator ekonomi itu seringkali tidak mencerminkan kondisi riil. Banyak keluarga menengah-bawah yang "tampak mampu" di atas kertas, tapi realitasnya hidup pas-pasan dan kini terjepit.
Di Mana Negara?
Ketika pendidikan mulai mahal, masyarakat secara naluriah berharap negara hadir. Tapi sayangnya, negara malah menyarankan kita "ajukan keringanan" atau "daftar KIP Kuliah", seolah itu solusi mujarab. Padahal, tidak semua orang lolos kriteria beasiswa, dan prosesnya bisa panjang, rumit, dan tak selalu transparan.
Apakah pendidikan masih menjadi hak dasar, atau sekarang sudah resmi menjadi komoditas?
Kami tidak anti kemajuan, Kami juga menyadari bahwa Kampus butuh dana untuk meningkatkan mutu. Tapi kalau dana itu dicari dengan membebani mahasiswa, bukankah itu cara termudah sekaligus paling malas mikir?..
Aneh rasanya melihat universitas berlomba-lomba membangun gedung tinggi, gedung baru, ruang kelas ber-AC, atau bahkan kantor internasional yang megah sementara akses kuliah justru menyempit bagi rakyat biasa. Kampus seharusnya bukan pusat citra, tapi pusat pengetahuan dan keadilan.
Mahasiswa = Pelanggan?
Logika ini tampaknya sudah menjangkiti banyak pimpinan kampus. Mahasiswa dianggap pelanggan, bukan warga negara. Kalau mampu bayar, silakan kuliah. Kalau tidak? Ya maaf sorry, itu bukan tanggung jawab kampus.
Tapi siapakah yang mensubsidi kampus negeri selama ini?, jawabannya Pajak rakyat. Maka sangat tidak masuk akal jika rakyat malah makin sulit mengakses layanan pendidikan dari lembaga yang mereka danai sendiri melalui pajak.
Bersuaralah
Hari-hari ini, banyak mahasiswa menggelar aksi. Di jalan, di kampus, di media sosial. Tapi suara itu masih dianggap remeh-temeh. Ada yang menyebut mereka hanya “baper”, “manja”, atau “tidak realistis”.
Padahal, mereka bukan anti kemajuan. Mereka hanya ingin pendidikan tinggi tetap bisa diakses oleh anak-anak dari keluarga biasa, yang penghasilan orang-tuanya pas-pasan tapi punya mimpi besar.
Jika masyarakat diam saja, UKT akan terus naik setiap tahun, dan pada akhirnya pendidikan tinggi hanya akan jadi milik mereka yang mampu "punya uang banyak" bukan yang berprestasi, bukan yang layak, tapi yang beruang.
Semua pihak harus menyadari bahwa Kampus negeri bukan milik segelintir orang tapi milik rakyat. Kampus harus menjadi wadah yang membentuk masa depan, bukan tempat yang menghancurkan harapan..
Jika hari ini kita biarkan UKT naik tanpa kendali, maka suatu saat nanti, kuliah akan menjadi kemewahan seperti apartemen di pusat kota; hanya untuk yang kaya saja..
Posting Komentar