Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?
Setiap 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera merah putih berkibar, lagu kebangsaan bergema, pidato-pidato penuh semangat terdengar di seluruh penjuru negeri. Namun di tengah euforia itu, pertanyaan mendasar patut kita ajukan: apakah kemerdekaan itu benar-benar kita rasakan, atau sekadar simbol dan seremoni belaka?
Bung Hatta pernah berkata, “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan emas untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur.” Delapan puluh tahun setelah proklamasi, jembatan itu tampaknya masih panjang dan penuh lubang. Data ketimpangan memperlihatkan realitas yang jauh dari cita-cita para pendiri bangsa.
Berdasarkan laporan OJK dan BPS 2025, 1 persen (1%) pemilik rekening bank di Indonesia menguasai sekitar 99 persen (99%) total dana simpanan. Satu persen (1%) penduduk mengendalikan 80 persen perekonomian nasional. Hanya 10 persen (10%) warga yang menamatkan pendidikan tinggi, sementara lebih dari 60 persen (60%) masih berada dalam kelompok rentan miskin.
Ironisnya lagi, anggaran pendidikan nasional justru banyak tersedot ke segelintir sekolah kedinasan yang bersifat eksklusif. Pendidikan umum masih terjebak dalam kekurangan fasilitas, dan ribuan guru honorer bertahan hidup dari gaji tak layak, ala kadarnya Rp.300.000 per bulan, jumlahnya menyedihkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mingguan.
Ketimpangan ini fakta dalam laporan statistik, sekaligus mencerminkan realita ketidakadilan struktural yang semakin mengakar. Jika di masa lalu penjajahan datang dari bangsa asing, kini penindasan hadir dalam bentuk kebijakan pemerintah yang timpang atau berpihak pada oligarki ekonomi. Fenomena ini menjadi batu sandungan bagi pemerataan sumber daya nasional.
Bung Karno pernah mengingatkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kini pesan itu terasa nyata. Tantangan terbesar kita bukan lagi melawan kekuatan asing, melainkan membenahi sistem ekonomi-politik yang membiarkan sebagian besar rakyat tertinggal.
Merdeka sejati berarti terbebas dari segala bentuk penindasan fisik, mental, maupun ekonomi. Namun ketika mayoritas rakyat belum memiliki akses setara terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesempatan hidup layak, maka kemerdekaan itu masih jauh.
Kita memang telah merdeka secara politik sejak 1945. Tetapi kemerdekaan ekonomi, sosial, dan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Selama ketimpangan terus dibiarkan, kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun hanya akan menjadi pesta rakyat yang meriah di permukaan, namun rapuh di dalam.
Momentum peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi ajang refleksi nasional, bukan sekadar perayaan simbolis. Kita perlu bertanya dengan jujur; apakah kita benar-benar sudah melangkah masuk ke alam kemerdekaan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945? Atau kita masih berdiri di depan "pintu gerbang kemerdekaan" tanpa pernah benar-benar masuk ke dalamnya?.
Merdeka sejati bukan hanya bebas mengibarkan bendera, tetapi bebas dari rasa lapar, bebas dari kebodohan, dan bebas dari ketidakadilan. Dan hingga hari ini, kemerdekaan itu masih menunggu untuk kita perjuangkan namun bukan lagi di medan perang, melainkan di ranah kebijakan negara yang ber-keadilan sosial, menganut visi pemerataan ekonomi dan layanan lainnya.
Posting Komentar