Perlu Kembali Ke UUD 18 Agutus 1945

Table of Contents

Demokrasi prosedural kian menjauh dari semangat musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Sudah saatnya menimbang ulang arah konstitusi.

Bangsa ini pernah berada di persimpangan sejarah pada 1959. Saat itu, Konstituante gagal menyepakati konstitusi baru, sementara UUD Sementara 1950 tidak mampu menampung dinamika politik bangsa. Presiden Soekarno akhirnya mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan Indonesia kepada UUD 1945. Keputusan ini bukan manuver politik Presiden, melainkan langkah penyelamatan bangsa dan negara dari kebuntuan.

Hari ini, pada tahun 2025, kita kembali menghadapi situasi genting. Sejak Reformasi 1998, UUD 1945 diamandemen empat kali dengan semangat memperkuat demokrasi. Namun setelah lebih dari dua dekade, hasilnya jauh dari harapan. Demokrasi yang lahir cenderung prosedural dan transaksional, sementara nilai-nilai luhur yang pernah menjadi landasan bernegara semakin terkikis.

Indonesia memang tampak maju secara fisik; gedung-gedung pencakar langit, jalan tol baru, hingga kemajuan digitalisasi. Tetapi di balik semua itu, moralitas politik bangsa merosot. Korupsi kian sistemik, partai politik kehilangan idealisme, politik uang dianggap lumrah, dan ruang publik dibanjiri hoaks serta buzzer yang menggiring opini. Demokrasi yang mestinya menjernihkan justru kerap mengaburkan nalar publik.

Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sejumlah masalah struktural. Sistem presidensial bercampur dengan semangat parlementer, membuat lembaga-lembaga negara saling tarik-menarik. Alih-alih menumbuhkan semangat gotong royong, politik yang lahir justru kian pragmatis: pemburu kuasa, bagi-bagi jabatan, dan pergeseran orientasi dari kepentingan rakyat ke kepentingan elit lebih besar.

Konstitusi yang mestinya menjadi penopang justru lebih banyak memelihara kepentingan sempit. Demokrasi prosedural hanya melahirkan transaksi, bukan representasi. Akibatnya, kesenjangan ekonomi melebar dan rakyat kecil tetap menjadi pihak yang paling terbebani.

Dua dekade lebih eksperimen ini berjalan, tetapi arah perjalanan bangsa kian kabur. Apakah bangsa ini akan terus bertahan dengan sistem hasil tambal-sulam ini? Ataukah sudah saatnya meninjau ulang secara serius amandemen UUD 1945?

Pernyataan “kembali ke UUD 1945 asli” seringkali dianggap nostalgia. Namun sesungguhnya, UUD 1945 asli menyimpan nilai-nilai penting yang relevan; musyawarah, gotong royong, serta keadilan sosial. Konstitusi pada hakikatnya bukan hanya teks hukum, melainkan cermin jiwa bangsa. Jika bangsa ini terus menjauh dari jiwanya sendiri, maka krisis kepercayaan dan perpecahan sosial sulit dihindari.

Memang, kembali secara total ke UUD 1945 asli mungkin menimbulkan perdebatan, karena kelahirannya di tengah konteks sejarah yang berbeda. Namun meninjau ulang amandemen dengan orientasi mengembalikan semangat asli UUD 1945 yakni gotong royong, musyawarah, dan keadilan sosial adalah kebutuhan mendesak. Ada beberapa opsi atau cara yang bisa dipertimbangkan; referendum, pembentukan majelis konstitusi khusus, atau amandemen ulang oleh MPRRI dengan keterlibatan publik yang lebih luas dan transparan.

Bangsa Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk mengambil langkah korektif. Para elit harus berani melawan arus pragmatisme, dan rakyat harus lebih kritis menuntut arah baru yang bermartabat. Tanpa itu, Bangsa indonesia akan terus terperosok dalam ketidakadilan, polarisasi, dan kehilangan jati diri.

Kini saatnya berani menimbang kembali; apakah UUD hasil amandemen benar-benar memperkuat demokrasi dan keadilan sosial, atau justru menjauhkan bangsa dari cita-cita pendirinya?. Pertanyaan itu harus dijawab, sebelum Indonesia terjerumus lebih dalam pada krisis konstitusional dan krisis kebangsaan.

Dirgahayu Indonesia 80 Tahun

Posting Komentar