Pertumbuhan Ekonomi Orde Baru vs Reformasi
Memperingati HUT RI ke-80, refleksi atas perjalanan ekonomi bangsa menjadi penting. Indonesia pernah mencatat masa keemasan ekonomi di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ketika produk domestik bruto (PDB) melesat hingga 8 persen (8%) di beberapa tahun. Sebaliknya, pasca-Reformasi, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih moderat, rata-rata sekitar 5 persen (5%) per tahun. Perbedaan ini bertumpu pada fondasi dan orientasi pembangunan.
Keajaiban Orde Baru
Pertumbuhan tinggi pada era Orde Baru didorong oleh stabilitas politik yang otoriter. Pemerintahan sentralistik menekan konflik politik dan memberi kepastian bagi investor. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) menjadi arah pembangunan, mulai dari "swasembada beras hingga industrialisasi".
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 1966–1997 mencapai 6,7 persen (6,7%) per tahun, salah satu yang tertinggi di negara berkembang kala itu. Namun, fondasi ini rapuh: ketergantungan pada utang luar negeri, dominasi komoditas ekstraktif, praktik korupsi dan konglomerasi ekonomi mengakar. Krisis Asia 1997/98 membongkar kelemahan tersebut dan mengakhiri era Orde Baru.
Dinamika Reformasi
Sejak 1998, Indonesia memasuki babak baru dengan demokratisasi dan desentralisasi. Stabilitas politik tidak lagi sepenuhnya dikendalikan pusat, melainkan tersebar ke banyak lembaga dan daerah. Demokrasi memperluas partisipasi masyarakat, namun juga membuat pembangunan lebih kompleks.
Tantangan utama yang terus dihadapi antara lain birokrasi yang inefisien, korupsi yang semakin menggurita dan merata, kesulitan mendorong sektor manufaktur sebagai mesin pertumbuhan. Ekonomi Indonesia bahkan makin rentan terhadap gejolak global, mulai dari krisis 2008 hingga pandemi COVID-19.
Meskipun demikian, era Reformasi terbukti membawa orientasi baru; pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mulai melirik ke aspek pemerataan. Program pengentasan kemiskinan, subsidi kesehatan, dan dana transfer ke daerah menjadi ciri khas pembangunan nasional yang lebih inklusif.
Data Pertumbuhan Ekonomi
- Orde Baru (1966–1997): ~6,7% per tahun (rerata)
- Reformasi (1999–2009): ~5,1% (pemulihan pascakrisis, fokus stabilitas makro).
- Reformasi (2010–2019): ~5,3% (stabil, namun terpengaruh perlambatan global).
- Reformasi (2020–2022): ~2,8% (dampak pandemi COVID-19).
- 2023: ±5,05%.
- 2024: ±5,0% (perkiraan).
- 2025: ±4,8–5,0% (proyeksi).
Kontras ini jelas: Orde Baru memberi pertumbuhan cepat tetapi rapuh, sedangkan Reformasi lebih lambat namun relatif agak tahan banting.
Efisiensi dan Akuntabilitas
Dari dua era itu, kita belajar bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari pilihan politik. Otoritarianisme Orde Baru memang efisien, tetapi berbiaya sosial dan ekonomi yang tinggi. Demokrasi Reformasi lebih akuntabel, meski menghadirkan “biaya politik” yang sangat mahal.
Di usia ke-80 tahun kemerdekaan RI, tantangan terbesar Indonesia adalah menemukan titik temu; bagaimana menggabungkan efisiensi pembangunan Orde Baru dengan akuntabilitas demokratis Reformasi. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa meraih pertumbuhan yang tinggi, berkelanjutan, sekaligus adil bagi seluruh rakyat.
Sumber Data
- World Bank. Indonesia Economy Remains Resilient (2025).
- OECD Economic Outlook 2025. OECD.org.
- Fitch Ratings via Reuters. Reuters.com.
- Macrotrends. Indonesia GDP Growth Rate.
- Wikipedia. Economy of Indonesia.
Posting Komentar