Presidensialisme Delegatif : Presiden Jadi Raja

Table of Contents
Presidensialisme Delegatif, Presiden Jadi Raja — Opini

Secara teoretis, sistem presidensial dirancang untuk menegakkan separation of power: eksekutif, legislatif, dan yudikatif berdiri sejajar dan saling mengawasi. Presiden dipilih langsung rakyat, tetapi kekuasaannya dibatasi oleh parlemen yang independen serta lembaga peradilan yang otonom. Inilah cita-cita yang sering kita baca dalam buku teori politik.

Namun, praktik di lapangan justru jauh berbeda terutama di negara dengan basis pendidikan politik rendah, tingkat kemiskinan tinggi, serta parlemen yang dikooptasi kepentingan eksekutif dan oligarki. Dalam situasi demikian, sistem presidensial justru bisa melahirkan sosok presiden yang terlalu kuat, bahkan nyaris tak tersentuh.

Pemilih dan Politik Figur

Dalam masyarakat dengan pendidikan terbatas, ekonomi morat marit, pilihan politik lebih ditentukan oleh figurisme, sentimen emosional, atau transaksi uang, bukan gagasan. Hal ini membuat presiden dipandang sebagai sosok paternalistik yang mendapat mandat “langsung dari rakyat”, bukan sebagai pejabat publik yang wajib dikontrol institusi.

Patronase dan Ketergantungan Ekonomi

Kemiskinan dan ketergantungan ekonomi mayoritas warga negara membuka ruang luas bagi praktik politik uang. Patronase menjadi alat efektif mempertahankan dukungan, sehingga logika pertanggung-jawaban (accountability) tergeser oleh logika balas jasa.

Parlemen yang Tumpul

Kondisi makin rumit karena parlemen cenderung kehilangan independensi. Biaya politik yang tinggi, mulai dari kampanye hingga operasional partai, biasanya ditutupi melalui konsesi proyek, posisi jabatan di pemerintahan, atau akses terhadap sumber daya negara. Akibatnya, DPR tak lagi berfungsi sebagai pengawas eksekutif, melainkan berubah menjadi rubber stamp yang hanya mengesahkan kebijakan presiden tanpa kritik berarti.

Presidensialisme Delegatif

Fenomena ini persis seperti yang disebut Guillermo O’Donnell (1994) sebagai delegative presidentialism: Presiden merasa mendapat mandat langsung dari rakyat untuk bertindak seolah tanpa batas, sementara lembaga pengawasan melemah. Di atas kertas, demokrasi berjalan karena pemilu rutin diadakan. Namun, secara substansi, mekanisme checks and balances lumpuh.

Risikonya jelas:

  • Kekuasaan brutal. Presiden cenderung bertindak sewenang-wenang karena nyaris tanpa kontrol institusional.
  • Korupsi terstruktur. Simbiosis eksekutif dan parlemen mengakar, menjadikan konsesi politik dan rente ekonomi sebagai norma.
  • Demokrasi semu. Yang tersisa hanya demokrasi prosedural, sementara demokrasi substantif yang menuntut transparansi dan akuntabilitas lenyap atau hilang.

Belajar dari Sejarah dan Masa Kini

Amerika Latin pernah mengalami gejala serupa pada 1980–1990-an; presiden yang terpilih secara sah, tetapi kemudian memusatkan kekuasaan, melemahkan parlemen, bahkan mengabaikan putusan pengadilan. Tanda-tanda serupa terlihat di Indonesia. Proses hukum yang sedang berjalan sontak dihentikan menggunakan mekanisme abolisi dan amnesti, Pelemahan fiskal pemerintah daerah menggunakan term efisiensi, Produk legislasi yang meluncur cepat tanpa perdebatan kritis, Kegagalan parlemen menggunakan hak angket dalam kasus-kasus besar, menjadi sinyal bahwa fungsi pengawasan sudah sangat melemah, nyaris tak ada lagi.

Menjaga Demokrasi Substantif

Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur pemilu. Demokrasi substantif menuntut agar setiap institusi eksekutif, legislatif, yudikatif, serta masyarakat sipil berdiri sejajar dan saling mengontrol. Jika tidak, presiden akan berubah menjadi figur populis-otoriter dengan legitimasi elektoral, tetapi tanpa pertanggung-jawaban.

Dalam situasi sekarang, pertanyaan mendasar; Apakah bangsa Indonesia rela membiarkan demokrasi hanya menjadi stempel prosedural untuk melanggengkan kekuasaan, ataukah mau dan berani memperjuangkan kembali semangat checks and balances agar rakyat benar-benar berdaulat?

Presidensialisme Delegatif, Presiden Jadi Raja

Posting Komentar