Babak ke-6: Panggung PBB untuk Palestina Merdeka

Table of Contents

oleh : Sophian Kasim, S.H.,M.Hum dkk,
Pemerhati Palestina & Pengacara di Jakarta

Sudah lebih dari tujuh dekade, isu Palestina menjadi salah satu agenda paling berulang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari rencana pembagian wilayah tahun 1947 hingga dukungan keanggotaan penuh pada 2024, mayoritas negara di dunia secara konsisten berdiri di sisi Palestina. Namun, kenyataan di lapangan tetap sama. Palestina belum juga diakui sebagai anggota penuh PBB. Jalan mereka selalu berhenti di satu titik, yaitu hak veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan (DK PBB).

Babak 1, Awal dari Resolusi 181

Pada 29 November 1947, Sidang Umum PBB mengesahkan Resolusi 181 (UN Partition Plan) yang membagi Palestina (Mandat Inggris) menjadi dua negara yakni: Yahudi dan Arab, dengan Yerusalem ditetapkan sebagai corpus separatum di bawah pengawasan internasional.[1]

Keputusan ini melahirkan dua konsekuensi besar. Pertama, Israel berdiri sebagai negara merdeka pada Mei 1948. Kedua, negara Palestina yang dijanjikan tidak pernah terwujud akibat perang. Sejak saat itu, ketimpangan semakin nyata. Israel menjadi anggota PBB yang sah, sementara Palestina terjebak dalam status yang samar.

Babak 2, Pengakuan PLO di PBB

Perubahan penting terjadi pada 1974. Sidang Umum PBB mengadopsi Resolusi 3236, yang menegaskan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.[2] Di saat bersamaan, Resolusi 3237 memberikan status pengamat kepada Palestine Liberation Organization (PLO) sebagai wakil sah rakyat Palestina.[3]

Inilah tonggak pertama ketika PBB secara resmi mengakui keberadaan politik Palestina. Namun, pengakuan ini masih bersifat simbolik, tanpa implikasi langsung terhadap status kenegaraan.

Babak 3, Proklamasi yang Tertahan

Pada November 1988, PLO memproklamasikan kemerdekaan Negara Palestina di Aljir. Dukungan luas datang dari negara-negara dunia, dan Sidang Umum PBB segera menyetujui resolusi yang menggunakan nama “Palestine” dalam berbagai forum.[4]

Namun, upaya Palestina masuk sebagai anggota penuh pada 1989 kandas di Dewan Keamanan akibat veto Amerika Serikat. Situasi inilah yang terus berulang hingga sekarang: legitimasi mayoritas di Sidang Umum berhadapan dengan dominasi minoritas melalui hak veto.

Babak 4, Negara Pengamat Non-Anggota

Langkah maju berikutnya terjadi pada 29 November 2012. Sidang Umum PBB melalui Resolusi 67/19 menaikkan status Palestina menjadi Negara Pengamat Non-Anggota, setara dengan Vatikan.[5]

Dukungan terhadap resolusi ini cukup telak: 138 negara setuju, hanya 9 yang menolak, dan 41 abstain.[6] Status baru ini membuka jalan bagi Palestina untuk bergabung dengan berbagai lembaga internasional, termasuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Babak 5, Dukungan meluas 

Pada Mei 2024, Sidang Umum PBB kembali menunjukkan peta dukungan global. Sebanyak 143 negara mendukung resolusi yang merekomendasikan keanggotaan penuh Palestina. Hanya 9 negara yang menolak dan 25 abstain.[7]

Namun, seperti 1989, jalan menuju keanggotaan penuh terhenti di Dewan Keamanan. Amerika Serikat kembali menggunakan hak vetonya.[8] Dengan demikian, Palestina kembali harus puas dengan legitimasi politik tanpa status hukum penuh di PBB.

Babak 6, 2025 : Virtual Voice, Deklarasi Dua Negara

Pada Sidang Umum PBB 2025, Palestina menghadapi tantangan praktis ketika Amerika Serikat menolak memberi visa kepada Presiden Mahmoud Abbas. Sebagai respons, PBB menyetujui resolusi agar Abbas dapat berbicara lewat konferensi video, diterima dengan 145 suara mendukung, 5 menolak, dan 6 abstain.[9]

Pada 12 September 2025, PBB mengesahkan resolusi yang mendukung Deklarasi New York dari konferensi internasional Juli 2025 tentang Solusi Dua Negara. Resolusi tersebut diadopsi dengan 142 suara mendukung, 10 menolak, dan 12 abstain.[10] Deklarasi ini menetapkan langkah-langkah konkret dan kerangka waktu bagi pembentukan negara Palestina, termasuk reformasi internal dan disiplin terkait Hamas.

Namun, meski dukungan terus meluas, status Palestina tetap tidak berubah : masih sebagai pengamat non-anggota tanpa hak suara di PBB.[11] Hingga september 2025, sebanyak 157 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina secara bilateral.[12] Dengan kata lain, Palestina semakin kuat secara de facto, tetapi masih terganjal secara de jure.

Antara De Jure dan De Facto

Pertanyaan : Apa makna dari semua dukungan ini jika selalu terhenti oleh veto?,

Pertama, secara politik internasional, Palestina sudah menjadi negara de facto. Lebih dari 150 negara telah mengakuinya, dan berbagai lembaga internasional menerima partisipasi Palestina. Dukungan suara di PBB juga semakin telak dari waktu ke waktu, menegaskan isolasi politik bagi negara-negara penolak, terutama Amerika Serikat.

Kedua, secara hukum internasional, Palestina masih terbelenggu. Tanpa keanggotaan penuh PBB, ruang gerak Palestina tetap terbatas. Hak veto di Dewan Keamanan berfungsi sebagai pagar kokoh yang sulit ditembus, terlepas dari berapa banyak negara yang mendukung.

Ketiga, secara realitas di lapangan, perjuangan Palestina tidak ditentukan PBB semata. Situasi perang di Gaza, pendudukan di Tepi Barat, dan dinamika politik kawasan tetap menjadi faktor penentu. Resolusi PBB sering kali berhenti pada kertas, sementara penderitaan rakyat Palestina berlangsung sehari-hari.

Jalan Panjang Palestina

Apa yang bisa dipetik dari rangkaian sejarah ini? 

Bahwa legitimasi internasional tidak selalu berbanding lurus dengan kekuatan politik global. Palestina telah mendapatkan pengakuan moral dan dukungan mayoritas dunia, tetapi belum beranjak ke status kenegaraan penuh.

Selama hak veto di Dewan Keamanan PBB masih digunakan untuk menahan Palestina, kemerdekaan de jure akan selalu tertunda. Namun, dukungan politik yang semakin meluas menjadi modal penting. Lambat laun, isolasi diplomatik terhadap pihak yang menolak bisa menjadi tekanan tersendiri.

Palestina memang belum merdeka sepenuhnya, tetapi perjuangan mereka sudah menjadi cermin: bahwa dalam politik dunia, suara mayoritas pun bisa dikalahkan oleh segelintir kekuatan veto.


Catatan Kaki

[1] United Nations General Assembly Resolution 181 (II), 29 November 1947.
[2] United Nations General Assembly Resolution 3236 (XXIX), 22 November 1974.
[3] United Nations General Assembly Resolution 3237 (XXIX), 22 November 1974.
[4] PLO Proclamation of Independence, Algiers, 15 November 1988; UN GA recognition 1988.
[5] United Nations General Assembly Resolution 67/19, 29 November 2012.
[6] “UN Assembly grants Palestinians upgraded status,” BBC News, 29 November 2012.
[7] UN General Assembly, Admission of new Members to the United Nations (Palestine), May 2024.
[8] “US vetoes Palestinian UN membership despite overwhelming support,” The Guardian, 10 May 2024.

Posting Komentar