Kecepatan Publik vs Kelambanan Pemerintah
Oleh : Noer Lapong, S.H
Digitalisasi, kemajuan teknologi, dan derasnya arus informasi telah menciptakan masyarakat yang semakin cerdas dan kritis. Dalam hitungan detik, sebuah kebijakan pemerintah dapat dibedah, dikritisi, bahkan dipatahkan argumennya oleh publik. Kecepatan ini membuat akumulasi sikap kritis masyarakat semakin tajam, membentuk tekanan sosial yang tak bisa lagi diabaikan.
Namun, di sisi lain, pemerintah justru tampak berjalan di tempat. Mungkin akrena Pola lama birokrasi masih bertahan; lamban, hierarkis, dan lebih sibuk menjaga citra ketimbang substansi. Akibatnya, jurang semakin lebar antara aspirasi masyarakat yang bergerak cepat dengan respons pemerintah yang tersendat. Ketidakselarasan inilah yang menjadi pemicu ledakan sosial di jalanan.
Era digital telah mengubah cara masyarakat berpartisipasi dalam politik dan kehidupan bernegara. Jika dahulu opini publik terbentuk melalui forum fisik atau media konvensional, kini informasi terus bergerak melalui media sosial, platform daring, dan ruang percakapan instan. Satu kebijakan yang dianggap merugikan bisa langsung menuai kritik massif dalam hitungan menit.
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Publik tidak lagi pasif menerima, melainkan aktif menilai, mengawasi, dan mengajukan alternatif. Kultur kritis ini tidak bisa dijawab dengan gaya lama birokrasi yang paternalistik.
Sayangnya, sebagian besar praktik pemerintahan masih mengulang pola lama. Retorika politik seolah reformatif, namun praktik di lapangan tetap terjebak pada budaya birokrasi usang: tertutup, berbelit, dan tidak jarang memprioritaskan kepentingan elite ketimbang rakyat.
Contoh mudahnya dapat dilihat dari kebijakan publik yang sering diumumkan tanpa konsultasi yang memadai, minim transparansi, serta cenderung reaktif hanya ketika mendapat tekanan. Respons cepat seringkali hanya sebatas komunikasi politik, bukan perubahan substantif dalam tata kelola pemerintahan.
Kesenjangan antara kecepatan publik dan kelambanan pemerintah membawa konsekuensi serius, “hilangnya kepercayaan”. Ketika masyarakat merasa aspirasinya tidak diakomodasi, mereka akan mencari kanal ekspresi lain di luar mekanisme formal, mulai dari unjuk rasa, kampanye daring, hingga aksi-aksi simbolik.
Ledakan sosial semacam ini tidak jarang menyulut instabilitas politik. Pemerintah boleh saja mengklaim kebijakannya berpihak kepada rakyat, tetapi jika kultur birokrasi dan gaya kepemimpinan masih sama, publik akan tetap curiga. Dalam jangka panjang, kecurigaan ini berubah menjadi ketidakpercayaan sistemik.
Kondisi ini menuntut pemerintah untuk benar-benar berbenah. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan jargon dan aturan administratif. Yang lebih penting adalah perubahan kultur: dari tertutup menjadi transparan, dari lamban menjadi adaptif, dari elitis menjadi partisipatif.
Pemerintah perlu memahami bahwa publik kini
bergerak lebih cepat dari mereka. Jika pemerintah tidak mampu menyesuaikan diri
dengan ritme baru masyarakat, maka legitimasi politik akan terus terkikis.
Masyarakat yang semakin kritis adalah aset, bukan ancaman. Namun, bila pemerintah tetap terjebak pada budaya birokrasi lama, aset itu bisa berubah menjadi bara yang sewaktu-waktu menyulut letupan massa.
Era digital telah menciptakan realitas baru, kecepatan publik jauh melampaui kelambanan pemerintah. Didorong oleh kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, masyarakat kini tampil lebih cerdas, lebih kritis, dan mampu membongkar sebuah kebijakan dalam hitungan detik. Kecepatan reaksi ini melahirkan akumulasi sikap kritis yang tajam, membentuk tekanan sosial yang tak bisa lagi diabaikan oleh para pemangku kebijakan.
Masyarakat telah bertransformasi dari sekadar penerima pasif menjadi pengawas dan penilai aktif. Partisipasi politik tak lagi dibatasi forum fisik atau media konvensional. Kini, opini publik bergerak cepat, masif dan instan melalui media sosial, menjadikannya ruang percakapan yang sangat dinamis. Sebuah kebijakan yang dianggap merugikan dapat langsung menuai badai kritik, bahkan mematahkan argumen pemerintah dalam hitungan menit.
Kultur kritis ini sejatinya adalah aset berharga bagi negara demokrasi, sebuah mekanisme check and balance non-formal yang kuat. Namun, ketika aset ini tidak direspon dengan benar, justru bisa berubah menjadi bara yang siap menyulut letupan massa.
Kontras yang mencolok terjadi di sisi pemerintahan. Mayoritas praktik birokrasi masih terjebak pada pola lama yang lamban, hierarkis, dan tertutup. Retorika politik sering terdengar reformis, namun praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya, lebih sibuk menjaga citra ketimbang substansi dan tidak jarang memprioritaskan kepentingan elite.
Contoh mudahnya terlihat dari proses pengambilan kebijakan yang minim konsultasi memadai dan transparansi, serta cenderung hanya reaktif ketika mendapat tekanan publik. Respons cepat yang muncul pun seringkali hanya sebatas komunikasi politik yang dangkal, bukan perubahan substantif dalam tata kelola.
Kesenjangan antara aspirasi publik yang bergerak cepat dengan respons pemerintah yang tersendat ini membawa konsekuensi serius : “hilangnya kepercayaan sistemik”.
Ketika
masyarakat merasa aspirasinya tidak diakomodasi melalui mekanisme formal,
mereka akan mencari kanal ekspresi di luar birokrasi, mulai dari unjuk rasa di
jalanan, kampanye daring, hingga aksi-aksi simbolik. Ledakan sosial yang dipicu
oleh akumulasi ketidakpuasan ini tidak jarang menyulut instabilitas politik.
Pemerintah boleh saja mengklaim kebijakannya berpihak kepada rakyat, tetapi jika kultur birokrasi dan gaya kepemimpinan masih sama, publik akan tetap curiga. Dalam jangka panjang, kecurigaan ini menjadi pupuk subur bagi ketidakpercayaan sistemik yang mengikis legitimasi politik.
Fenomena ini adalah alarm keras yang menuntut pemerintah untuk segera berbenah. Reformasi birokrasi tidak bisa lagi hanya menjadi jargon atau sekadar penambahan aturan administratif. Yang dibutuhkan adalah perubahan kultur yang mendasar:
1. Dari
Tertutup Menjadi Transparan : Membuka proses pengambilan keputusan dan anggaran
kepada publik.
2. Dari Lamban
Menjadi Adaptif : Mampu merespons krisis dan kritik dengan cepat dan efektif.
3. Dari Elitis
Menjadi Partisipatif : Mengakomodasi suara rakyat secara substantif dalam
perumusan kebijakan.
Pemerintah harus menyadari bahwa publik kini telah bergerak jauh lebih cepat dari mereka. Jika negara gagal menyesuaikan diri dengan ritme baru masyarakat ini, jurang kepercayaan akan semakin lebar, dan legitimasi politik akan terus terkikis hingga pada titik yang membahayakan stabilitas nasional. Publik yang kritis harus dilihat sebagai mitra pengawas, bukan sebagai ancaman yang harus dibungkam.
Posting Komentar