Kisah Tu’mah (Muslim) vs Zayd (Yahudi), Larangan Fanatik Identitas

Table of Contents


Penyunting : Muhammad Fadlul Rahman Arlan, 
Ketua HMI Pamulang, Aktif Komunitas Cipayung

Dalam sejarah Islam, ada satu peristiwa penting yang mengajarkan arti keadilan sejati. Kisah ini melibatkan Tu‘mah bin Ubairiq, seorang Muslim Madinah, dan seorang Yahudi bernama Zayd bin al-Samīn.

Tu‘mah mencuri baju besi milik sahabat Nabi, Qatādah bin Nu‘mān, lalu menyembunyikannya di rumah orang Yahudi itu. Ketika terbongkar, ia justru menuduh Zayd sebagai pelaku pencurian, bahkan keluarganya mendesak Nabi Muhammad s.a.w agar menghukum Zayd.

 

Hampir saja Nabi membenarkan tuduhan itu, sehingga Allah swt. menurunkan wahyu: 

(QS. An-Nisa/4:105–113):

 

105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat.

106. Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

107. Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.

108. Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dapat bersembunyi dari Allah. Dia bersama (mengawasi) mereka ketika pada malam hari mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan.

109. Begitulah kamu. Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Akan tetapi, siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari Kiamat? Atau, siapakah yang menjadi pelindung mereka (dari azab Allah)?

110. Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

111. Siapa yang berbuat dosa sesungguhnya dia mengerjakannya untuk merugikan dirinya sendiri. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

112. Siapa yang berbuat kesalahan atau dosa, kemudian menuduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, sungguh telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.

113. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Nabi Muhammad), tentu segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Akan tetapi, mereka tidak menyesatkan, kecuali dirinya sendiri dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah) kepadamu serta telah mengajarkan kepadamu apa yang tadinya belum kamu ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.

 

Allah menegur Nabi Muhammad s.a.w agar tidak membela pengkhianat meski ia seorang Muslim, dan menegaskan bahwa menuduh orang tak bersalah adalah dosa besar.

 

*Tafsir al-Ṭabari, Ibn Kathir, dan al-Qurṭubi:*

Menjelaskan bahwa ayat ini turun khusus untuk meluruskan kasus kasus Tu‘mah bin Ubairiq, sebagai pelajaran bahwa keadilan tidak boleh dikorbankan demi loyalitas kelompok. Bahkan, Musnad Ahmad dan Sunan Abu Dawud meriwayatkan peristiwa ini, menegaskan bahwa Islam berdiri di atas prinsip kebenaran, bukan identitas agama.

 

*Pesannya jelas:*

Keadilan dalam Islam tidak boleh tunduk pada fanatisme kelompok. Seorang Muslim tidak otomatis benar, dan seorang non-Muslim tidak otomatis salah. Hukum ditegakkan berdasarkan kebenaran, bukan karena kedekatan atau kelompokisme.

Di zaman kita, pelajaran ini tetap relevan. Janganlah kita membela “orang sendiri” hanya karena ikatan suku, agama, atau kelompok. Keberpihakan sejati seorang mukmin hanyalah pada kebenaran.

Semoga kita menjadi umat yang adil, berani menegakkan kebenaran walau melawan hawa nafsu dan kepentingan kelompok.

Wallahu alam bissawab'

Posting Komentar