Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah Muhammad s.a.w
Dalam sejarah Islam, terdapat riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melarang para sahabat untuk menulis hadis. Bahkan, beliau memerintahkan agar tulisan selain Al-Qur'an dihapus. Riwayat ini sering menimbulkan pertanyaan: apakah Nabi benar-benar menolak kodifikasi hadis? Mengapa kemudian kita mengenal literatur hadis yang begitu kaya?
Riwayat Larangan
Salah satu riwayat terkenal datang dari Abu Sa'id al-Khudri. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an. Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur'an, maka hendaklah ia menghapusnya.” [1]
Larangan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks awal Islam. Pada masa itu, Al-Qur'an masih dalam proses penurunan wahyu, sebagian sahabat baru belajar membaca dan menulis, dan media tulis masih terbatas. Dikhawatirkan ucapan Nabi bercampur dengan ayat Al-Qur'an, sehingga kemurnian wahyu terganggu.
Tujuan Larangan
Para ulama menjelaskan bahwa tujuan larangan ini bukanlah menolak hadis, melainkan:
- Menghindari percampuran dengan Al-Qur'an: agar wahyu tetap terjaga secara murni.
- Fokus pada hafalan Al-Qur'an: sahabat dituntut untuk mengutamakan menghafal dan memahami Kitabullah.
Dengan demikian, larangan menulis hadis lebih bersifat sementara dan preventif.
Riwayat Pengecualian
Namun, terdapat pula riwayat sahih yang menunjukkan bahwa Nabi SAW membolehkan, bahkan memerintahkan, penulisan hadis. Misalnya, ketika Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash mengeluhkan larangan kaum Quraisy atas tulisannya, Nabi bersabda:
“Tulislah! Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali kebenaran.” [2]
Dari riwayat inilah lahir catatan pribadi Abdullah bin 'Amr yang dikenal sebagai Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, salah satu dokumen hadis paling awal. [3]
Rekonsiliasi Ulama
Bagaimana memahami dua riwayat yang tampak bertentangan ini? Para ulama menyajikan beberapa penjelasan:
- Nasakh (penghapusan hukum): larangan berlaku di masa awal, kemudian dihapus dengan izin penulisan setelah Al-Qur'an relatif stabil. [4]
- Kondisional: larangan ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tidak mampu membedakan Al-Qur'an dan hadis, sementara izin diberikan kepada sahabat yang cakap menulis dan memahami.
Mayoritas ulama cenderung menggabungkan keduanya: larangan pada awalnya memang berlaku umum, lalu dicabut di kemudian hari ketika kebutuhan penulisan hadis semakin jelas.
Penutup
Dari sini tampak jelas bahwa larangan menulis hadis bukanlah bentuk penolakan Nabi SAW terhadap hadis sebagai sumber ajaran Islam. Larangan itu adalah strategi pedagogis, demi menjaga kemurnian wahyu Al-Qur'an. Setelah Al-Qur'an terpelihara dengan baik, pintu penulisan hadis pun dibuka. Hasilnya, generasi sahabat dan tabi'in melanjutkan tradisi dokumentasi ini hingga lahirlah disiplin ilmu hadis yang kita kenal hari ini.
Posting Komentar