Masjid Al-Aqsha: Kunci Vital Peradaban Islam

Table of Contents


Oleh: Muzayin Arief

Masjid Al-Aqsha di Yerusalem adalah simbol identitas, spiritualitas, dan perjuangan umat Islam yang melintasi zaman. Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari denyut nadi Palestina, bahkan menjadi salah satu kunci utama dalam memahami konflik panjang di tanah suci. Fakta Al-Aqsha sangat vital bagi peradaban Islam.

Al-Qur’an menegaskan kedudukan Al-Aqsha dalam (Surah Al-Isra ayat 1), ketika Nabi Muhammad SAW diisra’kan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha sebelum dimi’rajkan ke langit. Peristiwa itu menegasan bahwa Al-Aqsha memiliki posisi sakral dalam iman Islam.

Al-Aqsha pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Ka’bah ditetapkan. Hal ini menandakan bahwa sejak awal, hubungan umat Islam dengan Al-Aqsha bukan sekadar simbolis, melainkan juga ritual teologis. Tidak heran jika Rasulullah SAW menegaskan bahwa hanya ada tiga masjid yang layak dijadikan tujuan perjalanan ibadah; Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha di Palestina.

Al-Aqsha bukan hanya soal ibadah, melainkan juga perebutan kekuasaan sejak zaman Romawi, Bizantium, hingga datangnya Islam. Yerusalem selalu menjadi rebutan. Puncaknya, ketika Perang Salib meletus, umat Islam kehilangan Al-Quds hingga akhirnya dibebaskan kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1187. Momen itu dikenang sebagai titik balik kejayaan umat Islam dalam membela kesucian tanah suci.

Kini, kondisi serupa seolah terulang. Israel menjadikan Yerusalem sebagai pusat klaim kedaulatan, dan Al-Aqsha menjadi jantungnya. Penguasaan atas Al-Aqsha berarti legitimasi politik atas seluruh Palestina. Inilah mengapa setiap bentrokan di sekitar kompleks Haram al-Sharif selalu menyedot perhatian dunia.

Hingga hari ini, umat Islam Palestina kerap dibatasi aksesnya untuk beribadah di Al-Aqsha. Polisi dan militer Israel berulang kali menyerbu kompleks masjid dengan alasan keamanan. Bahkan, agenda pemukiman Yahudi di sekitar Yerusalem semakin mengancam eksistensi Al-Aqsha.

Dunia Islam memang sering bereaksi, baik lewat kecaman diplomatik maupun aksi solidaritas. Namun, respons itu selalu berhenti pada tataran simbolik. Tidak ada langkah nyata yang mampu menghentikan proses kolonisasi Israel. Akibatnya, generasi muda Palestina terus hidup dalam tekanan, sementara umat Islam di luar Palestina cenderung hanya menjadi penonton.

Di sinilah letak ujian besar bagi umat Islam. Masjid Al-Aqsha bukan hanya milik Palestina, melainkan amanah seluruh umat Islam di dunia. Membela Al-Aqsha berarti menjaga identitas dan martabat umat. Solidaritas tidak boleh berhenti pada doa atau kecaman, melainkan harus diwujudkan dalam gerakan nyata; diplomasi internasional, dukungan kemanusiaan, hingga penguatan ekonomi-politik agar dunia Islam tidak selalu berada pada posisi lemah.

Lebih dari itu, umat Islam perlu menyadari bahwa membela Al-Aqsha bukan sekadar urusan politik luar negeri, melainkan bagian dari iman. Sebagaimana shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi menjadi dambaan setiap Muslim, demikian pula seharusnya kerinduan dan kepedulian terhadap Al-Aqsha.

Masjid Al-Aqsha adalah kunci vital Palestina, sekaligus cermin martabat umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa siapa yang menguasai Al-Aqsha, ia menguasai narasi tentang Yerusalem. Pertanyaannya, apakah umat Islam akan membiarkan kunci itu hilang, ataukah bersatu untuk menjaganya?.

 La ilaha illallah

Posting Komentar