Paradoks Dukungan Barat, Akankah Palestina Hilang dari Peta?

Table of Contents

Oleh: Alam, MF Rahman Arlan, dan Marwanto Jr.
(Pemerhati Tanah Kanaan)

 

Gelombang dukungan negara-negara Barat terhadap kemerdekaan Palestina semakin ramai. Per 24 September 2025, setidaknya 150 dari 190 negara di dunia telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Parlemen di Spanyol, Irlandia, Norwegia, dan sejumlah negara Eropa lain bahkan telah meratifikasi pengakuan itu secara resmi. Di Amerika Serikat dan Inggris, suara publik juga makin kuat mendesak pemerintahnya untuk menekan Israel menghentikan agresinya di Gaza.

 

Sekilas, perkembangan ini tampak sebagai kemenangan moral bagi perjuangan rakyat Palestina. Namun, di balik dukungan itu terselip paradoks : Palestina justru semakin mendekati ancaman lenyap dari peta bumi.

 

Dominasi Militer Israel

Realitas di lapangan menunjukkan kontras yang tajam. Israel, dengan kemajuan teknologi militernya, bergerak cepat menguasai jalur Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, invasi besar-besaran dilakukan dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sistem senjata canggih, kecerdasan buatan untuk target militer, hingga dominasi udara menjadikan perlawanan Hamas nyaris mustahil bertahan dalam jangka panjang.

 

Strategi Hamas yang mengandalkan jaringan terowongan bawah tanah, cepat atau lambat, akan terdeteksi dan dihancurkan oleh Israel Defense Forces (IDF).

 

Bagi Israel, Gaza hanyalah pintu masuk untuk mengamankan kembali wilayah yang mereka sebut sebagai bagian dari warisan historis : tanah Kanaan atau Yehuda & Israel pada zaman Nabi Daud a.s dan Sulaiman a.s.

 

Pelajaran dari Masa Lalu

Sejarah memberi pelajaran penting. Israel pernah merebut dari tangan Mesir wilayah Gaza hingga Semenanjung Sinai pasca Perang Enam Hari 1967. Namun pada tahun 2005, Israel memilih mundur dari Gaza dan menyerahkannya kepada otoritas Palestina demi untuk perdamaian dan berdirinya negara Palestina. Keputusan itu kini, tentu dipandang keliru menurut perspektif Israel, karena Gaza justru berkembang menjadi basis serangan militer Hamas.

 

Oleh sebab itu, sangat kecil kemungkinan bagi Israel akan mengulang kesalahan yang sama. Gaza, setelah dikuasai kembali, hampir pasti akan dijadikan zona penyangga permanen, dikendalikan penuh, diawasi ketat, dan dipastikan steril dari kelompok bersenjata.

 

Paradoks Dukungan Diplomatik

Dari sinilah paradoks besar itu muncul. Semakin kuat suara internasional mendukung kemerdekaan Palestina, semakin tegas pula Israel memantapkan penguasaan di lapangan. Sebab dukungan diplomatik tidak serta-merta bisa mengubah fakta militer. Bahkan, pengakuan negara-negara Barat itu, bisa saja berhenti pada gestur moral tanpa daya paksa.

 

Sementara itu, setiap hari peta de facto Palestina terus menyusut, tepi Barat terfragmentasi oleh permukiman Yahudi yang kian meluas, sementara Gaza hancur dan berada di ambang aneksasi total.

 

Masa Depan Palestina

Pertanyaan besar pun mencuat; apakah Palestina masih mungkin berdiri sebagai negara merdeka, ataukah hanya akan tinggal sebagai simbol perjuangan tanpa wilayah nyata untuk dipertahankan?.

 

Di satu sisi, dukungan Barat memberi harapan moral bagi rakyat Palestina. Di sisi lain, Israel dengan kalkulasi politik dan militernya tampak lebih realistis, mengamankan seluruh tanah yang dianggap sebagai warisan historis, tanpa lagi memberi ruang bagi negara Palestina di masa depan.

 

Jika tren ini berlanjut, sejarah bisa mencatat sebuah ironi; pengakuan internasional terhadap Palestina datang bersamaan dengan menghilangnya Palestina dari peta bumi.

 

Wallahu alam bissawab”

 

Posting Komentar