Standar Ganda Barat di PBB: Siapa Sebenarnya Perusak Bumi?

Table of Contents


Oleh : Alam, aktifis lingkungan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak lama diposisikan sebagai forum global untuk mencari solusi bersama terhadap berbagai masalah dunia, termasuk isu lingkungan. Di ruang sidang PBB, negara-negara maju seringkali tampil lantang mengkritik negara berkembang. Mereka menuding negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sebagai biang kerok deforestasi, pencemaran udara, hingga penyumbang emisi karbon. Namun di balik sikap moral tinggi itu, tersembunyi ironi, justru industri negara-negara maju masih terus menghasilkan limbah berbahaya, termasuk material radioaktif, dan sekaligus mempertahankan dominasi barat atas rantai produksi global.

Adalah wajar untuk selalu bertanya, seberapa konsisten komitmen negara-negara Barat dalam menjaga bumi?. Ataukah forum seperti PBB hanya menjadi panggung legitimasi moral bagi negara kaya untuk menekan negara berkembang?. Bumi memang, pada akhirnya akan punah, sebagaimana diingatkan dalam kitab suci berbagai agama, tetapi manusia tetap dituntut menjaga amanahnya, minimal tidak mempercepat kehancuran bumi.

Kritik negara Barat terhadap negara berkembang seolah mengabaikan sejarah panjang eksploitasi lingkungan yang mereka lakukan. Revolusi Industri di Eropa dan Amerika Serikat sejak abad ke-18 memicu peningkatan emisi karbon dalam skala besar, sementara koloni di Asia dan Afrika dijadikan sumber bahan mentah murah. Akibatnya, negara-negara maju menikmati keuntungan ekonomi dan kemajuan teknologi, disisi lain negara berkembang menanggung kerusakan lingkungan, masalah jangka panjang.

Setelah menikmati hasil industrialisasi berabad-abad. Kini, mereka menuntut negara berkembang untuk menahan diri. Isu deforestasi di Indonesia, pembakaran batu bara di India, eksploitasi tambang di Afrika sering menjadi bahan kecaman. Padahal, konsumsi global atas produk-produk murah dari sektor-sektor inilah yang justru didorong untuk memperkuat ekonomi negara maju.

Ironis, industri negara Barat masih menjadi penyumbang limbah berbahaya terbesar. Pembangkit listrik tenaga nuklir di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang tetap beroperasi, menghasilkan limbah radioaktif yang membutuhkan ribuan tahun untuk aman. Lebih jauh dari itu, sebagian limbah beracun dan sampah plastik justru diekspor ke negara berkembang, seolah negara-negara miskin bisa dijadikan “tong sampah dunia.”

Di forum internasional, termasuk PBB, posisi negara berkembang memang tak seimbang. Mereka menghadapi dilema antara mengejar pembangunan untuk mengurangi kemiskinan atau memenuhi standar ramah lingkungan yang ditentukan negara kaya. Hal ini gambaran nyata ketidakadilan struktural:

1.    Negara maju sudah menikmati masa industrialisasi panjang tanpa aturan ketat soal lingkungan. Kini, aturan ketat itu diberlakukan kepada negara berkembang, padahal kebutuhan pembangunan mereka masih mendesak.

2.    Negara maju memiliki modal dan teknologi untuk mengurangi emisi, sementara negara berkembang harus bergantung pada pinjaman atau hibah yang sering datang dengan syarat politik tertentu.

3.    Isu lingkungan kerap dijadikan instrumen ekonomi-politik, misalnya hambatan ekspor dengan alasan standar emisi, atau label “tidak ramah lingkungan” yang melemahkan daya saing produk negara-negara Selatan.

Tekanan semacam ini membuat negara berkembang berada dalam posisi serba salah. Jika mereka mengikuti standar yang ditentukan Barat, pembangunan bisa terhambat, angka kemiskinan sulit ditekan, dan ketimpangan global semakin lebar. Jika mereka menolak, risiko dicap sebagai negara “perusak bumi” dan menghadapi sanksi dagang tidak bisa dihindari.

Dalam praktiknya, banyak negara berkembang menjadi korban dari sistem ini. Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menerima impor sampah plastik dari negara maju. Afrika menjadi ladang uji coba limbah elektronik. Sementara itu, negara-negara Barat tetap mempertahankan dominasi ekonomi melalui industri berteknologi tinggi yang masih meninggalkan jejak karbon besar, meski dibungkus narasi “hijau” atau “berkelanjutan.”

Sudah saatnya negara-negara berkembang bersikap lebih keras dan kritis di forum internasional. PBB harus benar-benar ditekan untuk berlaku adil, bukan hanya menjadi alat legitimasi politik dan ekonomi negara kaya. Jika isu lingkungan hanya digunakan untuk melanggengkan ketimpangan global, maka tujuan mulia menjaga bumi bersama akan sulit tercapai.

Kedaulatan negara berkembang dalam menentukan jalur pembangunan berkelanjutan perlu dihormati. Dukungan teknologi bersih dan pendanaan harus diberikan tanpa syarat politik yang melemahkan kedaulatan. Selain itu, negara-negara maju harus berani mengurangi konsumsi berlebihan, menutup industri pencemar, dan bertanggung jawab penuh terhadap limbah yang mereka hasilkan.

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan memang nyata, dan semua negara punya tanggung jawab. Tetapi tanggung jawab itu tidak boleh diterapkan dengan standar ganda. Dunia membutuhkan kesetaraan. Jika PBB benar-benar ingin menjadi forum yang adil, lembaga itu harus memastikan bahwa negara-negara maju tidak lagi bersembunyi di balik moralitas palsu sambil terus mencemari bumi.


Posting Komentar