HUKUM DILAYAR KACA

Keadilan di negeri ini sudah kehilangan bentuk aslinya. Ia tidak lagi hadir lewat prosedur hukum yang bijak namun tegas. Kini, keadilan harus dipanggil lewat ribut-ribut di media sosial. Harus ada video, harus ramai, harus trending. Kalau tidak? Ya, silakan antre bersama ribuan korban lain yang dibiarkan menunggu tanpa kepastian.


Inilah wajah baru hukum Indonesia, “No Viral, No Justice”

Indonesia tidak kekurangan aparat, tidak kekurangan lembaga, tidak kekurangan anggaran, namun yang pasti kekurangan keberanian dan integritas. Polisi, jaksa, hakim terlalu sering bergerak bukan karena panggilan tugas, tapi karena tekanan publik. Mereka menunggu sinyal dari media, dari elite, dari netizen. Seolah hukum bukan alat negara, tapi alat branding penguasa.

Betapa banyak korban yang harus bersuara di TikTok, menangis di Instagram, atau menulis utas di X (Twitter) hanya agar laporan mereka ditindaklanjuti. Dan itu pun belum tentu berujung keadilan, kadang hanya jadi sensasi semalam, lalu dilupakan. Sementara korban-korban lain, yang tak punya followers, yang tak tahu cara bicara “ala medsos”, dibiarkan tenggelam.

Ini bukan sekadar ironi, tapi ini bencana sistemik. Ketika keadilan bergantung pada viralitas, maka hukum hanya berpihak pada yang bisa berteriak paling keras, bukan pada siapa yang benar. Dan kita tahu, yang bisa berteriak paling keras bukan selalu korban, tapi mereka yang punya kuasa atau relasi kuasa.

Lalu apa gunanya negara kalau rakyat harus jadi jurnalis, pengacara, sekaligus aktivis untuk bisa dibela? Apa gunanya konstitusi kalau hukum tunduk pada algoritma? Apa gunanya lembaga hukum jika mereka hanya bekerja setelah ribuan orang me-retweet?.

Ini semua bukan salah rakyat. Mereka hanya beradaptasi dengan sistem yang gagal. Tapi kita tidak boleh membiarkan ini jadi normal atau dianggap lumrah. Keadilan yang sejati tidak bisa lahir dari kegaduhan. Ia butuh sistem yang adil, bukan panggung sandiwara.

Maka harapan publik saat ini adalah, hadirnya hukum yang tidak butuh viral untuk bekerja. Keadilan yang tak memilih berdasarkan jumlah views. Negara yang hadir bukan karena ramai (viral), tapi karena perintah kebenaran. Sebab kalau hukum masih perlu viral baru bergerak, maka sebetulnya yang dihadapi bukan negara hukum tapi negara “cari muka”.

He he he he

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama