Belajar dari Ray Dalio: Apakah Indonesia Menuju Siklus Bangkrut?

Ray Dalio, investor legendaris sekaligus penasihat Dana Kekayaan Negara Indonesia (Danantara), baru saja menerbitkan buku How Countries Go Broke: The Big Cycle. Dalam buku ini, ia menjabarkan bagaimana negara-negara besar dalam sejarah mengalami kebangkrutan bukan karena tiba-tiba miskin, melainkan karena mengabaikan tanda-tanda peringatan; utang yang menumpuk, ketimpangan yang melebar, hilangnya kepercayaan pada lembaga, dan kebijakan populis yang menunda reformasi struktural.

“Indonesia bukan pengecualian dari siklus tersebut”.

Negara Bangkrut Itu Berproses

Dalio menegaskan bahwa kehancuran negara bukanlah kejutan, tapi proses yang dapat dilacak. Ia menyebutnya The Big Cycle, yaitu lintasan panjang ekonomi dan politik yang dimulai dari pertumbuhan sehat, lalu masuk ke fase utang berlebih dan kesenjangan, sebelum akhirnya jatuh ke dalam disfungsi sistemik dan konflik sosial. Dalam setiap siklus, negara kerap mengulangi pola yang sama; membiayai defisit dengan utang, membangun proyek-proyek mercusuar tanpa dasar ekonomi yang kuat, dan menunda reformasi karena tekanan politik jangka pendek.

Melalui studi kasus seperti Jerman pasca-Perang Dunia I, Amerika Serikat di masa Great Depression, dan Venezuela dalam dua dekade terakhir, Dalio menunjukkan bahwa krisis fiskal selalu datang dari kombinasi kelalaian teknokratis dan kegagalan politik.

Indonesia dan Cermin yang Retak

Jika mencermati struktur fiskal Indonesia saat ini, sulit menepis kekhawatiran bahwa negeri yang kaya SDA ini sedang menapaki jalur yang Dalio peringatkan. Utang pemerintah per Maret 2025 telah melampaui Rp 8.300 triliun, setara lebih dari 38% PDB. Meskipun angka ini secara nominal masih di bawah batas aman versi undang-undang, tapi tren kenaikannya mengkhawatirkan karena tidak dibarengi peningkatan kualitas belanja dan reformasi penerimaan negara.

Belanja negara masih terlalu didominasi pengeluaran rutin dan subsidi politik, sementara reformasi pajak berjalan lambat. Sementara itu, pembangunan proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) berlangsung dalam atmosfer euforia, tanpa kajian dampak fiskal jangka panjang yang transparan.

Yang lebih mengkhawatirkan; sebagian utang dan kewajiban pembangunan kini “dipindahkan” ke skema alternatif seperti BUMN, Sovereign Wealth Fund (Danantara), dan KPBU, menciptakan ilusi defisit yang terkendali.

Ironi Ray Dalio dan Danantara

Ketika pemerintah menunjuk Ray Dalio sebagai penasihat Danantara, banyak pihak menilai langkah ini sebagai sinyal keseriusan untuk mengelola investasi negara secara profesional. Namun peluncuran buku Dalio justru membawa ironi yang tak terhindarkan. Di satu sisi, Dalio menulis panjang lebar tentang negara-negara yang bangkrut karena gagal mengendalikan utang dan belanja yang tak produktif. Di sisi lain, Indonesia yang kini menggandengnya sebagai penasihat tampak sedang mengulang pola serupa.

Apakah Indonesia sedang mengambil pelajaran dari Dalio, atau sekadar meminjam reputasinya untuk membungkus kebijakan yang berisiko?

Jalan Tengah yang Terlupakan

Indonesia kerap terjebak dalam dua ekstrem; optimisme buta yang memuja pembangunan fisik sebagai tanda kemajuan, atau pesimisme yang mendorong ketakutan pada setiap pinjaman publik. Padahal, jalan tengah selalu tersedia; pembangunan yang disiplin, utang yang produktif, fiskal yang transparan, serta kepemimpinan yang berani membuat keputusan tidak populer demi keberlanjutan.

Sebagaimana disimpulkan Dalio, negara yang selamat dari krisis bukanlah yang paling kaya sumber daya alam atau paling besar PDB-nya, melainkan yang paling mampu membaca siklusnya dan melakukan koreksi sebelum terlambat.

Menuju 2029: Ujian Politik dan Fiskal

Tahun 2029 akan menjadi titik uji bagi Indonesia; akankah transisi kekuasaan lima tahun ke depan membawa keberanian untuk merombak kebijakan fiskal dan menertibkan utang tersembunyi? Atau justru mempertahankan ilusi stabilitas lewat pembungkaman kritik dan inflasi narasi keberhasilan?

Dalam konteks inilah, buku Ray Dalio layak dibaca bukan hanya oleh ekonom dan investor, tetapi juga oleh para pembuat kebijakan dan warga negara. Sebab sejarah menunjukkan, negara yang gagal membaca peringatannya sendiri, akhirnya akan menjadi peringatan bagi orang lain.

_________

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama