Indonesia Menuju Negara Bangkrut? Stop Sembunyikan Beban Fiskal Riil

Ray Dalio dalam bukunya How Countries Go Broke: The Big Cycle menjelaskan bagaimana negara bisa jatuh ke dalam jurang kebangkrutan bukan semata karena utang yang menumpuk, tetapi karena tata kelola yang buruk; tidak jujur, tidak transparan, dan tidak bertanggung jawab terhadap publik.


Pelajaran itu terasa relevan dan mendesak untuk dibicarakan di Indonesia hari ini. Pemerintah sering menyatakan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam batas aman, namun diskursus publik nyaris tidak menyentuh utang luar negeri yang ditanggung Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, sebagian besar utang BUMN terutama yang dijamin negara atau berkaitan dengan proyek strategis nasional pada akhirnya tetap menjadi beban fiskal pemerintah.

Di sinilah letak persoalan utamanya. Jika pemerintah bersikukuh memisahkan secara administratif antara utang negara dan utang BUMN, tanpa mengakui keterkaitan struktural dan politis antara keduanya, maka publik sedang disuguhi narasi yang menyesatkan. Dalam banyak kasus, utang BUMN digunakan untuk membiayai proyek-proyek negara, tetapi ketika gagal, negara yang akhirnya menjadi penjamin terakhir.

Menyembunyikan Masalah, Mengundang Krisis

Ray Dalio menyebut bahwa negara memasuki tahap akhir dari siklus besarnya ketika kepercayaan mulai runtuh; terhadap mata uang, terhadap institusi, dan terhadap data resmi pemerintah. Negara mulai memanipulasi angka, menyembunyikan beban fiskal riil, hingga akhirnya kehilangan kredibilitas di mata investor dan rakyatnya sendiri. Tanda-tanda semacam itu mulai terlihat di Indonesia. Pemerintah kerap menyampaikan pernyataan fiskal yang optimistis, tetapi pada saat bersamaan data utang luar negeri BUMN tidak disampaikan secara terbuka.

Pada 2024, menurut data Bank Indonesia, total utang luar negeri Indonesia mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS, dan sekitar 20 persen berasal dari sektor korporasi yang sebagian besar adalah BUMN. Namun, angka itu tidak pernah menjadi bagian dari narasi fiskal resmi negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar; apakah kita sedang menyembunyikan risiko besar di balik retorika pembangunan?

Masa Depan Pemerintahan Prabowo dan Tantangan Transparasi

Pemerintahan Prabowo Subianto mewarisi beban fiskal yang besar. Selain utang yang terus meningkat, ia juga akan menghadapi ekspektasi tinggi publik terhadap keberlanjutan proyek infrastruktur, hilirisasi, dan transformasi ekonomi. Namun, jika pola ketertutupan informasi ini tetap dipertahankan, maka tantangan fiskal itu akan berubah menjadi krisis kepercayaan.

Kita tentu tidak mengharapkan Indonesia benar-benar "broke", tetapi peringatan dari Ray Dalio seharusnya menjadi alarm serius. Dalam sejarah, banyak negara yang bangkrut bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kegagalan elite politik dalam membangun tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Menuju Tata Kelola yang Jujur

Transparansi fiskal adalah syarat utama demokrasi ekonomi, Publik berhak tahu berapa besar utang yang sedang ditanggung atas nama mereka. Pemerintah tidak bisa terus berdalih bahwa utang BUMN adalah urusan korporasi. Dalam sistem ekonomi politik Indonesia, BUMN adalah perpanjangan tangan negara. Utangnya adalah utang publik.

Jika pemerintah benar-benar ingin membawa Indonesia menjadi negara maju sebagaimana visi besar yang sering didengungkan   presiden Prabowo, maka langkah pertama adalah jujur dalam menyampaikan keadaan. Jangan sembunyikan utang. Jangan manipulasi narasi. Jangan biasakan publik hidup dalam ilusi fiskal.

Seperti kata Ray Dalio, “Krisis jarang terjadi tiba-tiba. Ia datang perlahan-lahan, lalu tiba-tiba.” Jika kita tidak belajar dari peringatan ini, maka jalan menuju kebangkrutan bukan sekadar kemungkinan, tapi keniscayaan.

_______

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama