Di tengah panggung demokrasi elektoral, narasi dan simbol sering kali lebih menentukan arah dukungan publik ketimbang capaian kebijakan yang konkret. Presiden Joko Widodo (Jokowi), sosok yang dibesarkan dari luar lingkaran elite tradisional, paham betul bagaimana memainkan simbol dan drama politik untuk memoles citra kepemimpinannya. Mulai dari kisah mobil Esemka hingga kemunculan dosen pembimbing skripsinya, Kasmudjo, semua menjadi bagian dari skenario pencitraan yang cermat dan terencana.
Mobil Esemka
Saat masih menjabat sebagai Wali
Kota Solo, Jokowi mencuri perhatian publik lewat peluncuran mobil Esemka, yang
digadang-gadang sebagai karya anak bangsa. Ia menjadikan mobil itu kendaraan
dinasnya, dan menjadi sebuah pesan simbolik bahwa Indonesia mampu berdikari
secara industri. Publik menyambut hangat, media menggempur dengan pemberitaan
positif, dan citra Jokowi sebagai pemimpin merakyat pun terkerek naik.
Namun, seiring berjalannya
waktu, mobil Esemka tak pernah benar-benar menjadi produk massal yang
kompetitif. Banyak pihak yang akhirnya menilai proyek itu lebih mirip gimmick
politik ketimbang proyek industri strategis. Ia efektif secara simbolik, tetapi
nihil secara substansi.
Kasmudjo dan Isu Ijazah
Tahun-tahun menjelang akhir masa
jabatannya, Jokowi kembali memunculkan narasi simbolik, kali ini berkaitan
dengan keaslian ijazahnya. Dalam sebuah acara yang sudah disetting, Jokowi
menampilkan dosen pembimbing skripsinya, pak Kasmudjo. Jokowi menjelaskan
interaksinya dengan pak Kasmudjo, he he beliau galak sekali, saya bolak balik
membawa skripsi, ditolak balik lagi, ditolak balik lagi.
Bagi pendukungnya, ini adalah
langkah yang elegan untuk membungkam rumor. Namun bagi pengkritik, ini dinilai
sebagai pertunjukan yang terlalu dramatis dan datang terlambat. Momen itu
dinilai sebagai upaya untuk mengukuhkan kembali legitimasi dirinya dengan
pendekatan emosional, bukan administratif atau akademik yang rigid. Sekali
lagi, simbol lebih diutamakan daripada substansi.
Politik Simbol
Strategi semacam ini bukanlah
hal baru dalam politik modern. Namun pada titik tertentu, jika simbol dan drama
terlalu dominan, maka yang dikorbankan adalah ruang untuk debat substansial. Di
masa Jokowi, tak jarang wacana publik terfokus pada gaya kepemimpinan, gestur
merakyat, hingga penampilan sederhana bukan pada efektivitas kebijakan,
transparansi anggaran, atau pelemahan institusi demokrasi.
Masyarakat yang terlalu larut
dalam simbolisme dan cenderung permisif terhadap pelanggaran prinsip demokrasi.
Ketika substansi digantikan dengan narasi penuh emosi, maka ruang rasional
publik menyempit.
Harapan dan Kewaspadaan
Tak dapat dipungkiri, Jokowi
adalah komunikator politik yang ulung. Ia tahu cara menampilkan diri sebagai
representasi rakyat biasa yang naik ke tampuk kekuasaan. Tapi sejarah akan
menilai bukan dari betapa hebatnya narasi yang ia bangun, melainkan seberapa
besar ia memperbaiki fondasi negara.
Posting Komentar