menuntun akal sehat, metadata AI
Polemik keabsahan ijazah mantan Presiden RI Joko
Widodo kembali mengemuka setelah Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga,
menyatakan bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengubah informasi sejarah
terkait kepemimpinan dekan Fakultas Kehutanan. Klaim tersebut didasarkan pada
perbedaan data antara versi lama dan versi terbaru laman resmi UGM.
sah dan menuntut penjelasan yang transparan.
Inti perdebatan terletak pada siapa yang
menjabat sebagai dekan Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Dalam salinan
ijazah Presiden Jokowi, nama Prof. Dr. Soenardi Prawirohatmodjo tercantum
sebagai dekan yang menandatangani dokumen tersebut. Namun, versi sebelumnya di
situs UGM sempat menyebut Prof. Dr. Achmad Sumitro sebagai dekan sepanjang
1977–1988.
Setelah polemik mencuat, laman UGM
direvisi. Ralat tersebut menyatakan bahwa Prof. Achmad Sumitro menjabat dalam
periode berbeda, yakni 1978–1979, 1980–1981, 1988–1994. Artinya, pada tahun
1985, Prof. Soenardi memang menjabat dan berwenang menandatangani ijazahnya
bapak Presiden Joko Widodo.
Koreksi ini menunjukkan adanya
ketidaktepatan data sebelumnya. Namun, ketiadaan penjelasan resmi dari UGM
mengenai alasan dan waktu perubahan data menciptakan ruang spekulasi. Di
sinilah letak permasalahan utama; tidak adanya komunikasi terbuka dari
institusi akademik yang seharusnya menjadi benteng integritas dan keilmuan.
Padahal, UGM telah mengeluarkan pernyataan
umum bahwa ijazah Presiden Jokowi sah dan seluruh dokumen akademik
terdokumentasi dengan baik. Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM,
Prof. Wening Udasmoro, juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi lulus pada 5
November 1985. Kesaksian dari sejumlah alumni angkatan 1980 pun memperkuat hal
ini secara sosial.
Namun, di tengah arus informasi yang mudah
dimanipulasi dan ketidakpercayaan publik yang semakin besar terhadap lembaga,
pernyataan normatif saja tidak cukup. Diperlukan rujukan konkret dan terbuka,
misalnya: log perubahan situs web, arsip surat keputusan dekan, hingga dokumen
struktur fakultas tahun 1980-an.
Transparansi bukan sekadar tuntutan publik,
melainkan prasyarat utama untuk menjaga integritas lembaga pendidikan tinggi.
UGM, sebagai institusi bersejarah dan berpengaruh, justru memiliki kesempatan
besar untuk menjadi contoh dalam menghadapi isu dengan keterbukaan, bukan
menghindar dari sorotan.
Posting Komentar